BUAT APA SEKOLAH DKV?


BUAT APA SEKOLAH DKV?

Priyanto Sunarto

 

Diskusi HIT#5 majalah VERSUS selama tiga hari menggambarkan rumitnya masalah pendidikan DKV. Para pakar dan tokoh pendidikan berusaha memberi penjelasan dan arahan. Pertanyaan besarnya, kenapa pendidikan komunikasi visual tetap “boom” hingga hari ini? Kenapa animo calon mahasiswa sangat besar membanjiri program studi berjudul DKV? Bagi para calon yang tertarik, apa yang ingin diperoleh dari pendidikan tersebut?

Gelombang besar yang membawa trend baru ini sudah diduga sejak abad lalu baik oleh Toffler maupun Naisbitt, pergeseran orientasi dunia dari sector produksi ke sektor jasa, khususnya jasa informasi. Sektor itulah yang sekarang berperan besar seperti ilmu komunikasi, perbankan, akuntansi, teknologi informasi, termasuk juga komunikasi visual. Dalam duapuluh tahun terakhir bahkan segi visual mendapat perhatian penting dengan maraknya media cetak, televisi, internet dan selular. Perubahan paradigm ini berdampak pada meningkatnya kebutuhan tenaga kerja. Demikianlah kemudian pendidikan di berbagai bidang di atas menjamur cepat.

Aspek kegunaan jadi daya tarik untuk bekal hidup, desain interior, desain produk industri, desain grafis, desain busana dlsb. Kata Komunikasi identik dengan selebriti, berada di tengah keramaian dunia, di media cetak maupun televisi. Profesi redaksi, reporter, presenter, pengiklan, penerbit ratingnya naik. Kata Visual identik dengan seniman, perupa, menciptakan karya seni untuk publik yang luas, menjanjikan kemasyhuran, kreator iklan, pembuat film, desainer, fotografer. Pada era digital profesi ini makin membius dengan kemungkinan bermain dengan jaringan internet dan realitas visual. Dalam sebuah rangkuman kata-kata itu membangkitkan imajinasi pada sebuah profesi yang flamboyant, desainer-seniman-selebriti-visual-virtual.

Pendidikan punya masalah sendiri. Penjenjangan dalam pendidikan diciptakan untuk mengukur bekal yang diberikan pada terminal tertentu sesuai kompetensi yang diperlukan. Di lapangan kerja, jumlah kebutuhan terbesar pada level keterampilan teknis dan menengah. Pendidikan demikian berada pada terminal sekolah kejuruan (SMK) dan program diploma (Politeknik). Kebutuhan Sarjana dan yang lebih tinggi mengisi tingkat manajemen menengah ke atas, jumlah lowongan pasti tak banyak. Fakta di Indonesia memperlihatkan piramida terbalik, lebih banyak pendidikan DKV dibuka untuk tingkat sarjana.

Ketimpangan ini tak lepas dari mental masyarakat yang masih menyimpan sifat feodal. Kalau dulu gelar bangsawan istana menentukan strata sosial, menyusul kekayaan menjadi patokan (borjuasi) maka pendidikan pun kemudian jadi gelar bangsawan baru. Orang tua merelakan seluruh harta asal anaknya jadi sarjana, syukur kalau bisa sampai profesor. Dalam perlombaan simbol status ini program yang dianggap tak diminati, kurang gengsi. Akibatnya sekolah yang menjanjikan gelar tinggi setingkat sarjana jadi tujuan hidup, terutama ijaszahnya. Dalam diskusi VERSUS kemarin semapat dibahas tentang ribuan sarjana DKV muncul tiap tahun.

Padahal tak mungkin semua tertampung. Akibatnya, kompetensi dalam pendidikan diturunkan supaya lulusan bisa kerja di level lebih rendah dengan resiko ijazah tak menggambarkan peringkat sebenarnya, hanya gelar kosong.

Sekolah DKV hanya judul besar yang dipakai sebagai pemikat calon. Tak satupun sekolah sanggup meraup semua bidang komunikasi visual, tiap sekolah punya kekhasannya sendiri. Situasi tak wajar ini sebaiknya diwaspadai para pencari masa depan. Di televisi, penerbitan dan iklan cetak kita temui olah citra digital yang sekarang mulai dilakukan oleh bangsa sendir. Menjadi seniman digital tak perlu tingkat sarjana. Berbagai bidang dalam lingkup kerja DKV bisa dipelajari lebih singkat dari empat tahun. Banyak anak muda yang berpikiran realistis memilih pendidikan diploma saja. Dalam perhitungannya, kalau dalam tiga tahun bisa mengumpulkan portpolio bagus tak sulit mendapat pekerjaan. Dalam waktu satu tahun kerja pendapatannya sudah lebih tinggi dari sarjana baru. Setelah cukup masa kerja bisa menyambil kuliah lagi untuk menambah ilmu. Begitulah cara berpikir bila orientasinya adalah pekerjaan.

Jadi, buat apa sekolah DKV? Cita-cita boleh tinggi, tapi menempuhnya harus realistis. Tanyalah dengan jujur dan penuh kewaspadaan, apa yang saya ingin peroleh melalui pendidikan, ilmu dan kebisaan apa? Bisakah kebisaan itu dipenuhi setelah saya lulus? Dengan demikian saya perlu menyelidiki dulu berbagai sekolah yang akan dipilih. Dapatkah sekolah itu memenuhi harapan saya? Relevansi ilmu yang diberikan dengan harapan kerja masa depan saya? Kalau saya berminat sekolah DKV, sebetulnya bidang apa yang saya sungguh minati? Bagaimana kurikulumnya, mutu dan suasana sekolah, kepakaran gurunya? Saya tak boleh hanya percaya mitos dan gossip orang saja. Sekolah yang menurut orang lain baik belum tentu sesuai dengan apa yang saya perlukan.

Pertanyaan dan pelacakan awal demikian menolong kita merancang masa depan. Di era demokrasi ini strata pendidikan bukan nilai mutlak, yang utama berapa besar manfaat yang bisa kita sumbangkan pada masyarakat. Manfaatkan proses pendidikan sebagai sumber menggali ilmu, meningkatkan potensi dan mempertajam keahlian. Belajar dengan etos kerja yang tinggi, kursus singkat, diploma, sarjana sama saja. Kalau setelah lulus kita tak mampu menerapkannya di lapangan kerja, ijazah hanya kertas indah tanpa makna.

 

Sumber : ISSUE 03 .2009   V E R S U S   PENDIDIKAN DKV INDONESIA

 

 


Leave a Reply